Kamis, 29 Maret 2012

Mengapa Manusia Cenderung Kepada Duniawi?

Oleh: Mohammad Adlany
Sebagaimana di alam natural, gerak menurun (nuzuli) lebih mudah daripada gerak menaik (shu’udi). Hukum ini pula berlaku dalam gerak dan suluk pada perkara-perkara maknawi, spiritual, dan akhlak. Dalam istilah qurani, gerak dan proses menaik dikatakan senantiasa bersama dengan usaha, upaya, dan derita. Tuhan berfirman dalam al-Quran surah Insyiqaq ayat keenam, “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.”
Sementara di alam dunia -dikatakan dunia karena wujud dan  hakikatnya sangat rendah dari segala sesuatu- dan kecenderungan kepada hawa nafsu maka cukuplah manusia menutup matanya dari kesempurnaan-kesempurnaan, kesucian-kesucian, fitrah, dan akal. Continue reading

Maqam Fana dalam Irfan

Oleh: Mohammad Adlany
Fana dalam makna leksikalnya adalah ketiadaan dan kehancuran. Dan lawan dari fana adalah baqa, abadi, dan tetap ada. Seperti Tuhan termasuk kategori abadi dan baqa, sementara selain-Nya atau seluruh makhluk digolongkan ke dalam ketiadaaan, kehancuran, dan fana. Kata fana digunakan dalam al-Quran, walaupun sebagian dari derivatnya yang diaplikasikan, seperti: “Segala sesuatu akan hancur dan yang tinggal wajah Tuhanmu,” Tuhan dalam ayat ini meletakkan kata “fanin” (hancur) berhadapan dengan kata “yabqa” (yang tetap, yang tinggal, dan abadi), yang bermakna bahwa hanya Tuhanlah yang selamanya ada dan baqa, sementara segala sesuatu selain-Nya adalah hancur dan sirna.
Sedangkan fana dalam makna gramatikalnya adalah tidak memandang, tidak memperhatikan, dan tidak menyaksikan keberadaannya sendiri. Yang pasti hal ini tidak berarti asing terhadap dirinya sendiri, namun lebih bermakna bahwa seseorang yang hadir di sisi Tuhan sama sekali tidak melihat eksistensi dirinya sendiri dan dia meniadakan segala sesuatu selain-Nya di dalam hatinya. Continue reading

Tentang Tasawuf dan Irfan Islami

Oleh: Bandeh Khudo
Kosa kata “tasawuf” dan “irfan” dalam banyak karya tulis digunakan dalam arti yang sinonim. Malah sebagian ulama menganggap bahwa tasawuf sinonim dengan irfan Islami. Oleh karena itu, mereka tidak membenarkan penyandaran kata itu kepada selain Islam, seperti tasawuf Kristen, tasawuf Yahudi, dan tasawuf India.
Ajaran irfan semestinya sudah ada bersama kehidupan manusia. Jika seseorang tidak menginginkan akalnya hanya terbatasi oleh materi dan memandang dunia ini sebagai materi semata, begitu apabila ia tidak ingin melihat bahwa dunia ini hanya bersifat rasional, dan pada waktu yang sama, ia juga tidak menafikan wujud materi, sebenarnya ia telah memiliki pola pemikiran irfani. Ya, tidak seluruh irfan memiliki substansi ajaran agama, baik dahulu maupun sekarang. Continue reading

Kenonmaterian Malaikat

Oleh: Mohammad Adlany
Sebagian ulama dan ilmuwan Muslim sepakat bahwa malaikat merupakan materi-materi yang lembut dan bercahaya, dan mampu menjelmakan dirinya dalam berbagai bentuk dan hanya para nabi serta para wali lah yang memiliki kemampuan untuk melihat para malaikat ini.
Mereka juga sepakat bahwa teori kenonmaterian malaikat bertentangan dengan lahiriah ayat-ayat dan hadis-hadis mutawatir, sebagaimana hal ini diungkapkan oleh Muhaqqiq Dawani dalam Syarh Aqaid dan Syarih Maqasid yang sepakat bahwa malaikat dalam ilmu dan kodrat merupakan sebuah eksistensi yang sempurna, siang-malam berada dalam keadaan beribadah tanpa merasa lelah atau berkeinginan untuk menentang perintah-perintah Ilahi. Continue reading

Bahasa Mistisisme dan Metamistisime (Terakhir)

Oleh: Mahdi Hairi Yazdi 
Pendahuluan
Dalam filsafat linguistik modern, sebuah upaya penting telah dilakukan untuk membedakan metabahasa (metalanguage) dari bahasa obyek (obyek language). Misalnya, jika saya menulis sebuah buku dalam bahasa Inggris tentan gramatika bahasa Jerman, maka bahasa Inggris menjadi metabahasa dan bahasa Jerman menjadi bahasa obyek yang dibicarakan dalam bahasa Inggris.
Dalam hal ini, bahasa Inggris, yang berfungsi sebagai metabahasa, mengambil bahasa Jerman sebagai obyek. Metabahasa akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang obyeknya, dan kemudian berupaya untuk menjawabnya secara sistematis. Dalam kenyataannya, bahasa Jerman hanya akan menjadi bahasa obyek jika ada suatu metabahasa yang mengambil bahasa Jerman sebagai obyek perbincangan. Jika saya menulis sebuah buku tentang tata bahasa Inggris dengan menggunakan bahasa Inggris, maka bahasa Inggris menjadi metabahasa sekaligus bahasa obyek. Tentu saja, ini bisa hanya jika bahasa obyek tersebut memiliki sarana ungkapan yang cukup kaya untuk berbicara tentang dirinya sendiri. Continue reading

Jalan Menuju Kesempurnaan

Oleh: Mohammad Adlany
Tema di atas bisa dipaparkan dalam empat bagian, yaitu: a. Definisi dari kata “sempurna” dan perbedaannya dengan kata “terpenuhi” dan “berkembang”; b. Kesempurnaan manusia; c. Kesempurnaan manusia dari perspektif Islam; dan d. Jalan menuju kesempurnaan.
  1. Definisi kata “sempurna” dan perbedaannya dengan kata “terpenuhi” dan “berkembang”.
Kata “sempurna” kadangkala diartikan dengan makna yang sinonim dengan kata “terpenuhi”, dan kadangkala dengan pengertian selain itu, namun bagaimanapun, lawan kata keduanya adalah “kurang”, sebagaimana halnya lawan kata “terpenuhi” adalah “kurang”.
Yang dimaksud dengan kesempurnaan adalah murni aktual (segalanya ada secara aktual), ketiadaan potensi atau keberadaan sifat-sifat yang mesti dimiliki oleh sesuatu. Kesempurnaan adalah kepemilikan segala hal yang mungkin dan layak untuk dimiliki oleh sesuatu. Dengan perkataan lain, kesempurnaan adalah titik akhir dan tingkatan akhir setiap sesuatu, atau keberadaan sifat-sifat yang niscaya dimiliki oleh sesuatu, dan persoalan-persoalan lain dalam batasan yang penting dan bermanfaat untuk sampai pada kesempurnaan hakikinya akan menjadi “kesempurnaan awal” dan “pengantar kesempurnaan” baginya.[1] Continue reading

Fath al-Mubin Seorang Arif dan Ragam Manifestasi Ilahi

Oleh: Mohammad Adlany
Fath al-Mubin (kemenangan nyata) sesuai dengan manifestasi suatu sifat Ilahi dan berkaitan pula dengan pembahasan “wilayah” umum Ilahi dan fana. Dan dengan menjabarkan macam-macam “wilayah” Ilahi, empat tahap perjalanan (suluk) para urafa, tingkatan fana, dan tahapan kiamat personal (kiamat yang dialami oleh setiap orang) akan menjadi jelas bahwa kemenangan nyata bersesuaian atau merupakan hasil dari manifestasi tauhid perbuatan dan sifat Tuhan.
Pada tingkatan ini, walaupun kiamat kubra (besar) tidak terjadi pada arif, karena terjadinya kiamat semacam ini berhubungan dengan maqam “khafi (tersembunyi)” dan “akhfa (paling tersembunyi)” atau maqam “au adna” yang terkait “wilayah” khusus Ilahi dengan manifestasi Zat Ilahi dan kemenangan mutlak, akan tetapi hal itu bisa terwujud pada tingkatan terjadinya kiamat terendah yakni hadirnya “wajah” Allah dalam bentuk tauhid perbuatan dan sifat dalam tingkatan fana yang terendah dan “wilayah” umum Ilahi dalam kemenangan yang dekat (qarib) dan nyata (mubin). Continue reading

Kehendak Ilahi dan Kecenderungan Manusia kepada Keburukan

Oleh: Mohammad Adlany
Ayat yang menjadi poin pembahasan adalah ayat ke 29 surah at-Takwir, “Dan kamu tidak dapat berhendak kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Tuhan semesta alam“, dan ayat yang mirip dengan ayat ini terdapat pula pada sebagian ayat ke 30 surah Ad-Dahr (Al-Insan), Dan kamu tidak mampu untuk berkehendak kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. Begitu pula pada ayat ke 19 surah al-Muzammil, “Sesungguhnya ini adalah suatu peringatan. Maka barang siapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan (yang dapat menyampaikan dirinya) kepada Tuhan-nya.
Berikut ini kami akan menganalisa ketiga ayat tersebut: Continue reading

Pengertian ‘Arsy dan “Kursi”

Oleh: Mohammad Adlany
Dengan menggunakan ayat-ayat dan hadis, para penafsir al-Quran memberikan beberapa kemungkinan makna terhadap ‘arsy dan kursi.
‘Arsy secara literal berarti tahta, singgasana kerajaan dan tahta Rabbul ‘Alamin yang tidak bisa didefinisikan.[1] ‘Arsy pada prinsipnya berarti sesuatu yang memiliki atap, dan jamaknya adalah ‘urusy. Tempat duduk raja juga di sebut ‘arsy. Ini karena melihat ketinggiannya.[2]
Kursi adalah tahta, ilmu, pengetahuan, harta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya.[3]
Dalam Al-Quran, selain langit, bumi dan apa yang ada diantara keduanya, terdapat pula dua eksistensi lain dengan nama ‘arsy dan kursi.
Mengenai pengertian kata ‘arsy dan kursi, dengan menggunakan ayat-ayat dan riwayat-riwayat dari para Imam Ahlulbait Nabi As, para penafsir al-Quran menyatakan kemungkinan-kemungkinan berikut: Continue reading

Menapaki Jalan Spiritual: Syariat, Tharikat, dan Hakikat

Oleh: Mohammad Adlany
Dalam pandangan irfan, manusia pesuluk adalah manusia yang dengan menapaki jalan-jalan spiritual ia kembali ke tempat asalnya, menyirnakan jaraknya dengan Dzat Tuhan, dan meniadakan dirinya sendiri dengan kedekatan kepada-nya (fana dalam asma dan sifat Tuhan) serta mengabadikan dirinya dengan kebersamaan dengan-Nya (baqa dengan dzat-Nya). Allah Swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya.” (Qs. Insyiqaq: 6)
Oleh karena itu, sair suluk irfani bersifat senantiasa bergerak dan tidak konstan. Gerak dan perjalanan ini memiliki awal dan akhir, derajat dan tingkatannya yang harus dilewati dan ditapaki. Adalah sangat mungkin menggapai “hakikat” kesempurnaan manusia dan maqam kedekatan kepada Tuhan dengan melewati “tharikat” yang merupakan batin “syariat”. Dari dimensi ini, kita akan menemui kata-kata seperti “syariat”, “tharikat”, dan “hakikat” dalam ungkapan-ungkapan para urafa. Continue reading

Jumat, 23 Maret 2012

KECERDASAN SAYYIDINA ALI RA

RasulAllah SAW seringkali memuji sahabatnya atas hal yang berbeda-beda.
Abu bakar RA misalnya, dipuji beliau atas keimanan yang kuat mengakar di jiwanya.
Umar RA dipujinya atas kemampuannya menegakkan yang hak tanpa takut dicela.
Utsman RA dipujinya atas sifat malunya yang bahkan membuat malaikatpun menjadi malu padanya, dan Ali bin Abi Thalib dipujinya atas kecerdasan, ilmu dan pengetahuan yang menjadikannya gerbang ilmu jika diibaratkan Nabi Muhammad adalah kotanya.
Kawan, akan kuceritakan padamu sekelumit kisah,  setetes dari lautan ilmu Sahabat nabi kita ini..
Seorang wanita di zaman kekhalifahan Abu bakar RA melahirkan padahal dia baru menikah 6 bulan sebelumnya. Dan hal tersebut menimbulkan fitnah dan pergunjingan di masyarakat. Merekapun menuduhnya berzina, dan menuntut pemerintah untuk merajam perempuan tersebut. Maka sebuah sidang diadakan untuk memutuskan apakah anak tersebut adalah hasil zina sehingga perempuan tersebut harus dihukum rajam ataukah dia adalah anak yang sah. Ali RA yang merupakan hakim pada masa tersebut pun didatangkan untuk membuat sebuah keputusan.
“Bayi itu adalah anak yang sah! Nasab dan waris diikutkan kepada ayahnya“
“Atas dasar apa keputusan itu kau buat wahai Ali?“ tanya sang khalifah
“Atas dasar Al-Quran firman Allah SWT, cobalah baca Quran surat Al-Ahqaf ayat 15 Allah SWT berfirman

     (وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا)
    (..hamil dan menyusui adalah 30 bulan.. )
    
Sementara dalam ayat yang lain Allah berfirman :
   
    (وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْ
)
   (..dan wanita menyapih anak yang disusuinya setelah berusia 2 tahun..)
Dua tahun adalah 24 bulan. Maka jika hamil dan menyusui adalah 30 bulan dan menyusui adalah 24 bulan, bukankah berarti kehamilan itu adalah 6 bulan? Maka, hamil 6 bulan adalah mungkin dengan penyaksian Al-Quran.
Dan khalifahpun memutuskan seperti yang telah disampaikan oleh Sayyidina Ali RA.

Kisah lain tentang kecerdasan beliau
Di masa kekhalifahan Sayyidina Umar RA, dua orang perempuan melahirkan di waktu yang hampir bersamaan di rumah seorang bidan. Seseorang diantara mereka melahirkan bayi laki-laki dan seorang lagi melahirkan bayi perempuan. Namun sang bidan yang meletakkan kedua bayi itu berjejeran begitu saja tidak ingat betul siapa ibu bayi laki-laki dan siapa ibu untuk bayi yang perempuan. Dan masalah menjadi pelik tatkala kedua ibu tersebut mengakui dan memperebutkan bayi laki-laki sebagai miliknya.
Masalah tersebut sampai di meja hijau kekhalifan Umar RA, dan beliaupun segera memanggil Sayyidina Ali RA untuk memberikan keputusan yang benar.
“Harap masing-masing dari kedua ibu tersebut mengeluarkan air susunya dan dimasukkan di gelas ini“
Kata beliau seraya menyerahkan 2 buah gelas kepada dua orang tersebut.
Setelah dua gelas tersebut berisi air susu dari masing-masing ibu baru itu dan diberi tanda agar tidak tertukar, beliaupun kemudian menimbang air susu tersebut dalam sebuah timbangan. Dan ternyata sesuai perkiraan beliau satu gelas susu itu lebih berat dari yang lainnya.
Beliau kemudian memutuskan bahwa pemilik susu yang berat adalah ibu dari bayi yang laki-laki, sementara ibu dengan air susu yang lebih ringan adalah ibu dari bayi yang perempuan. Tatkala ditanyakan dengan dalilnya. Beliaupun kemudian membacakan firman ALLAH SWT, An-Nisa ayat 11 :

(لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ)
(..bagi laki-laki adalah dua kali jatah perempuan..)

Kisah yang ini terjadi di masa kekhalifahan beliau sendiri di tengah perselisihan dan perpecahan umat yang mulai berlangsung. Dan siang itu disaat khutbah jumat dengan beliau bertugas sebagai khatib, seorang munafik mengangkat tangan mengajukan tiga buah pertanyaan. Diawali dengan ucapan pedasnya : 
“Wahai khalifah, Nabi Muhammad mengatakan bahwa beliau adalah kota ilmu dan engkau adalah pintunya, maka jika engkau benar-benar pintu dari kota ilmu, tentulah semua pertanyaanku dapat engkau jawab dengan benar”
“Silahkan ajukan pertanyaanmu” kata Sayyidina Ali RA
“Pertanyaan pertama, berapa jarak antara timur dan barat bumi ini?”
Tanpa diam lama, Sayyidina Ali menjawab “Selama perjalanan matahari dari pagi hingga sore hari”
Semua jamaah Jum'at berdecak kagum atas ketepatan jawabannya. Ya, bukankah matahari memang terbit di timur di waktu pagi dan tenggelam di barat saat sore hari?
“Pertanyaan kedua, apa yang sedang Allah SWT kerjakan saat ini?”
Sayyidina Ali RA tidak menjawab pertanyaan tersebut. Beliau malah turun dari mimbar kemudian naik kembali dan berkata
“Yang sedang Allah lakukan saat ini adalah menurunkan saya dari mimbar, menaikkan saya kembali, kemudian menjawab pertanyaanmu ini“
Dengan jawaban beliau yang tak terbantahkan itu, diapun menjadi terlihat kesal dan kemudian berkata
“Pertanyaan terakhir, kenapa di zaman khalifah Abu bakar dan Umar RA negeri ini aman dan damai, tidak ada perselisihan dan perpecahan, sementara di masa engkau memerintah ini negeri kita dipenuhi dengan huru-hara, keributan dan perselisihan antar sesama umat islam?”
Sayyidina Ali RA tersenyum mendapati pertanyaan yang bukan ilmu pengetahuan tapi perdebatan yang memojokkan beliau ini. Kemudian beliau berkata
“Ya, tentu saja di zaman khalifah Abu bakar dan Umar memerintah negeri kita damai, aman dan sejahtera sebab pemimpinnya adalah mereka dan rakyatnya adalah orang-orang seperti saya. Sementara di masa sekarang ini pemimpinnya adalah saya dan rakyatnya adalah orang-orang sepertimu“

Ustadzah Mimin Aminah

Pagi itu,3 Mei 1998, dari Jakarta saya diundang mengisi seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulu merekah. Ia seorang yang bertubuh besar, ramah dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas dalam pandangan saya menerpa dua kruk(tongkat penyangga yang dikenakannya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yangditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan tasbih.

Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran Mimin tiba. Semua memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya. Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik. Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan nada datar, "Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya."
Ia tersenyum, "Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah memohon seuatu pada Allah, " Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum. "Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja."
Dulu takada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa teman-teman pria dan wanita Universitas Islam Bandung tempat kuliahnya itu senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta jam kuliah yang diikutinya, "Diantara mereka ada yang membawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah dan ada juga yangmenunggu di atas," kenangnya.
Dan civitas akademika yang lain? Menurut Mimin, ia sering mendengar Orang menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya, Mereka berkata, " Ya Allah, bisa juga ya, dia kuliah." Senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah,  keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang Maha Besar. Begitu kata mereka."
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak pernah bermimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seseorang yang cacat seperti saya. Ya, tawakal saja."
Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, Mapan dan normal melamarnya. "Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub. Allah itu Maha Kuasa, ya. Maha adil Masya Allah, Alhamdulillah dan sebagainya," ujarnya penuh syukur. Saya memandang Mimin dalam.

Menyelami batinnya dengan mata mengembun, "Lalu, saat saya hamil, hampir semua yangbertemu saya, bahkan orang yang tak mengenal saya, takjub seraya lagi-lagi mengagung-agungkan asma Allah. Ketika saya hamil besar, banyak orang yangmenyarakan saya agar tidak ke bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimanapun saat seorang ibu melahirkan, otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak semua menjadi akan menjadi mudah. Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar, dibantu bidan," pipi Mimin memerah kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu Akar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang."
Hening, ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Mimin. Tiba-tiba saya merasa bersyukur saya teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan belumlah apa-apa. Astagfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya, saya menahan air mata di atas podium. Bisakah orangmengingat Allah saat memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan saya masih kabur. Juga saat seorang dari dua anaknya menghambur ke pelukannya. Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat anak saya, yang selalu bisa saya gendong kapansaya suka. Ya Allah, betapa banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku.
Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya. "Subhanallah, Maha Besar Engkau Ya Robbi, yang telah memberi pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya. Amin." Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cintasaya pada sang pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.

SA'AD BIN ROBIE'




(Hari Uhud beberapa saat setelah kekalahan terjadi atas pasukan islam)


Diantara tubuh yang bergelimpangan. Darah merah segar mengalir dari luka-luka akibat sayatan pedang atau tusukan panah. Wajah-wajah sahabat yang selamat terlihat kecewa dan terluka.
Nabi Muhammad SAW duduk dengan luka parah di dahinya sementara dua giginya tanggal akibat pukulan seorang tentara musuh. Tiba-tiba ingatan tentang seseorang membuatnya berdiri dan berujar lantang:
"Wahai sahabatku sekalian! Adakah seseorang mau mencarikan untukku Sa’ad bin Robie’ masih hidupkah ia ataukah sudah tiada?"
Berdiri seorang sahabat anshor :
"Aku akan melakukannya untukmu, ya RosulAllah.."
Diapun segera menelusuri tubuh-tubuh yang bergeletakan di tanah pegunungan Uhud. Bau amis darah tercium disana sini. Dibaliknya beberapa tubuh yang tengkurap dan berusaha mengenali wajah mereka sebab darah dan tanah yang bercampur jadi satu membuat sebagian wajah tak mampu lagi dikenali.
Dia mendapati Sa’ad bin Robie’ diantara mereka dan panah menancap di dadanya. Dipegangnya pergelangan tangannya untuk merasakan denyut nadi dan dia merasakan masih ada sisa nafas yang tersisa.
"Kawan, aku diperintahkan RosulAllah Muhammad SAW untuk melihat keadaanmu masih hidupkah engkau ataukah telah mati?"
Mendengar nama Rosul disebut, mata Sa’ad mengerjap dan lirih diucapkan kata-kata ini:
"Aku akan segera mati. Namun sampaikan salamku kepada RosulAllah katakan padanya: Semoga Allah membalas beliau dengan sebaik-sebaik balasan yang diberikanNya untuk seorang nabi atas kebaikan dan pengorbanan kepada umatnya."
Ditahannya rasa sakit sambil memegang dadanya dan dengan susah payah ia berujar kembali:
"Dan sampaikan pula salamku kepada seluruh umat ini katakan kepada mereka bahwa  Sa’ad bin Robie’ berpesan: Jangan pernah kalian biarkan sesuatu terjadi kepada RosulAllah SAW sementara kalian masih memiliki mata yang mampu berkedip."
Dan tewaslah Sa’ad sesudah mengucapkan kalimat itu
Sahabat anshor itupun segera menyampaikan keadaan dan perkataan Sa’ad kepada RosulAllah. Beliau terdiam sejenak lantas mendoakan Sa’ad:
"Ya Allah.. Sayangilah dia.. Karena dia selalu memberi nasehat dan mengajak umat kepada kebaikan hidup dan matinya.."
(Kawan.. membaca kisah ini ada yang bergerak dihatiku, rasanya seperti dihadapkan pada sebuah cermin dan diminta berkaca tentang kesungguhan.. Sudahkah ia ada dalam hati kita?)

Mamah Dedeh Rosyidah Syarifuddin Ustadzah Dari Ciamis Yang Lagi Naik Daun


Apakah anda sudah mengenal Mamah Dedeh ?
Berikut sekilas tentang perjalanan Mamah Dedeh.

Mamah Dedeh berasal dari Ciamis tepatnya didaerah Pasir Angin dan dibesarkan dilingkungan Pesantren. Hobi dan kemahiran melukis membuat Dedeh Rosidah Syarifudin bercita-cita menjadi seorang pelukis profesional. Padahal hampir semua keluarganya, dari kakek, nenek, ayah, ibu, kakak, om, tante, dan masih banyak familinya yang lain berprofesi sebagai pendakwah. Konon sang Ayah KH. Sujai (alm) yang juga seorang mubaligh tidak menyetujui dengan cita-citanya, dan dikirimlah Mamah Dedeh remaja ke Jakarta pada tahun 1968, untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Tarbiyah Institut Ilmu Agama Islam Negeri yang sekarang telah berubah namanya menjadi Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah, Ciputat. Menjadi pendakwah sudah dilakoni Mamah Dedeh sejak ia masih duduk dibangku kuliah dengan keliling kampung untuk mensyiarkan agama yang dianutnya.

Pada saat kuliah Mamah Dedeh bertemu dengan idaman hatinya yang bernama Drs. H. M. Syarifuddin yang kelak menjadi pendamping hidupnya. Ternyata sang suami juga anak dari seorang mubaligh di Jakarta yang bernama KH. Hasan Basri yang masih keturunan dari Guru Mughni. Dari hasil perkawinan ini Mamah Dedeh mempunyai 3 orang Putra dan 1 orang putri yang sangat lucu-lucu (hehehe-red). Pada saat sekarang ini Mamah Dedeh juga sudah mempunyai 3 orang cucu yang sudah pasti lucu-lucu dan sangat menggemaskan (hehehe-red)

Pada tahun 1995 Aktivitas dakwah off air dari kampung ke kampung, kota ke kota dan menjadi narasumber di berbagai kelompok pengajian rupanya menarik perhatian almarhum Benjamin Sueb, pendiri sekaligus pemilik Bens Radio meminta Mamah Dedeh untuk ceramah on air di Bens Radio yang ditayangkan secara LIVE dan akhirnya menjadi penceramah tetap hingga sekarang, mengisi program Ngaji setiap Jumat pukul 11.00-13.00 WIB.

Awal Maret 2007, Mamah Dedeh mulai muncul di televisi lewat sebuah program talk show religius di Indosiar. Acara ini diberi nama Mamah dan Aa ditayangkan setiap Jumat-Sabtu pukul 05.00–06.00 WIB LIVE, dan rekaman untuk hari yang lainnya. dikarenakan Gaya ceramahnya unik banyak disukai pemirsa televisi sehingga Acara Mamah dan Aa ini juga diputar ulang di televisi Elshinta setiap hari pukul 18.00-19.00 WIB.

Hujjatul Islam: Syekh Aidh Al-Qarni, Dai dan Penulis Andal (2)

Hujjatul Islam: Syekh Aidh Al-Qarni, Dai dan Penulis Andal (2)
Syekh Aidh Al-Qarni

Hujjatul Islam: Syekh Aidh Al-Qarni, Dai dan Penulis Andal (2)

Senin, 19 Maret 2012 07:17 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, Al-Qarni juga dikenal sebagai tokoh pembaruan di Arab Saudi dan berani menyuarakan kebenaran. Keberaniannya menyuarakan kebenaran ini sempat membuatnya merasakan jeruji besi pemerintah Al-Saud.

Ia mendekam dalam penjara selama 10 bulan pada 1996. Kesalahannya saat itu, ia bersama beberapa orang ulama muda Saudi lainnya berani berteriak lantang menentang kehadiran pasukan Amerika Serikat di Arab Saudi atas undangan pemerintah Al-Saud. Sikap para ulama ini ditunjukkan melalui bait-bait syair yang mereka terbitkan.

Ayah dari tiga putera dan enam puteri ini kemudian ditempatkan di sebuah penjara khusus. Dalam sebuah wawancara dengan harian Republika beberapa tahun lalu, Al-Qarni mengungkapkan bahwa selama dipenjara ia banyak membaca buku tentang musibah dan problematika manusia, pembunuhan serta hubungan bapak dan ibu atau hubungan anak dan orangtua.

Ia terinspirasi untuk memberikan solusi pada orang-orang yang tertimpa masalah tersebut melalui tulisan. Berawal dari sinilah karyanya yang fenomenal Laa Tahzan tercipta.
Berlembar-lembar tulisan pun menjadi bukti ketekunannya dalam menjalankan hari-harinya di penjara. ''Sekitar 100 halaman pertama saya tulis di penjara,'' tuturnya.

Setelah keluar dari penjara, Aidh Al-Qarni melanjutkan tulisannya. Untuk menyelesaikan lembar-lembar itu, dia membutuhkan referensi 300 judul buku dalam berbagai bahasa. Hingga akhirnya, lahirlah buku Laa Tahzan yang diterjemahkan menjadi Jangan Bersedih dalam edisi Bahasa Indonesia.

Ia menyusun Laa Tahzan selama tiga tahun dan mengeditnya tiga kali setiap menulis satu bagian buku. Hasilnya sungguh fenomenal. Buku yang sudah diterjemahkan ke dalam 29 bahasa dunia ini telah diterbitkan oleh puluhan penerbit dan mencapai angka penjualan fantastis.
Di negara asal penulisnya, Arab Saudi, hingga triwulan pertama tahun 2006 buku itu sudah dicetak kurang lebih 1,5 juta eksemplar. Di Indonesia, buku ini juga sempat menjadi buku terlaris.

Kelebihan buku Al-Qarni terlihat pada bahasan-bahasannya yang fokus, penuh hikmah, dan selalu memberi jeda untuk merenung sebelum berlanjut pada bahasan berikut. Dalam bukunya pula, Al-Qarni mengajak pembaca agar tidak menyesali kehidupan, tidak menentang takdir, atau menolak dalil-dalil dalam Alquran dan sunah.

Sunan Ampel

Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Makhdum Ibrahim (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Kapten Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil).[1][2]
Sementara itu seorang putri dari Kyai Bantong (versi Babad Tanah Jawi) alias Syaikh Bantong (alias Tan Go Hwat menurut Purwaka Caruban Nagari) menikah dengan Prabu Brawijaya V (alias Bhre Kertabhumi) kemudian melahirkan Raden Fatah. Namun tidak diketahui apakah ada hubungan antara Ma Hong Fu dengan Kyai Bantong.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa permaisuri Prabu Brawijaya.
Raden Rahmat dan Raden Santri adalah anak Makhdum Ibrahim (putra Haji Bong Tak Keng), keturunan suku Hui dari Yunnan yang merupakan percampuran bangsa Han/Tionghoa dengan bangsa Asia Tengah (Samarkand). Raden Rahmat, Raden Santri dan Raden Burereh (cucu raja Champa) pergi ke Majapahit mengunjungi bibi mereka bernama Dwarawati (anak Sultan Champa) yang menjadi permaisuri raja Brawijaya.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil isteri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara (kelak Brawijaya VII) . Dipati Hangrok (alias Girindrawardhana alias Brawijaya VI) telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan isteri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Anak laki-laki dari Putri Pasai dengan raja Majapahit tersebut kemudian dinikahkan dengan puteri raja Bali. Putra dari Putri Pasai tersebut wafat ketika isterinya Putri dari raja Bali mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini (cucu Putri Pasai dan Brawijaya VI) dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta izin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristerikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai isteri oleh Sunan Kudus (tepatnya Sunan Kudus senior/Undung/Ngudung), sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.

Rabu, 14 Maret 2012

Abdullah Gymnastiar

 
Yan Gymnastiar (lahir di Bandung, Jawa Barat, 30 Februari 1962; umur 50 tahun) atau lebih dikenal sebagai Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym adalah seorang pendakwah, penyanyi, penulis buku dan penerbit, pengusaha dan pendiri Pondok Pesantren Darut Tauhid di Jalan Gegerkalong Girang, Bandung.[1] Aa Gym menjadi populer karena mengenalkan cara berdakwah yang unik dengan gaya teatrikal dengan pesan-pesan dakwah Islami yang praktis dan umum diterapkan pada kehidupan sehari-hari.
Pesan-pesan dakwahnya berkisar pada pengendalian diri, hati nurani, toleransi dan keteguhan iman. [2] Aa Gym digemari oleh ibu-ibu rumah tangga karena ia membangun citra sebagai sosok pemuka agama yang berbeda dengan ulama lainnya. Ketika para ulama “konvensional” berdakwah tentang keutamaan salat, puasa, dan kemegahan surga, Aa Gym memilih untuk bercerita tentang pentingnya hati yang tulus, keluarga yang sakinah dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang ringan dan menyenangkan. Topik pembahasannya seputar keluarga dan pemirsanya terkonsentrasi pada ibu-ibu rumah tangga, citranya pun didaulat menjadi “ustad keluarga bahagia.” Hal ini menjadi kontroversial ketika media mengumumkan Aa Gym berpoligami dan menikah lagi dengan Alfarini Eridani atau dikenal juga dengan sebutan "Teh Rini" pada bulan Desember 2006, saat itu istri pertamanya adalah Hj Ninih Muthmainnah atau dikenal juga dengan sebutan "Teh Ninih", yang telah menjadi istrinya sejak tahun 1988 dan selama menikah dengannya telah dikaruniai tujuh anak. Banyak penggemarnya kecewa dan mengirim SMS berantai, menulis di blog dan Surat Pembaca, menelepon ke stasiun TV, berhenti berkunjung ke Daarut Tauhid, hingga ikut turun jalan dan berdemo menentang poligami [3]. Hal ini berdampak pada kepopulerannya dan bisnisnya [4].