Jumat, 23 Maret 2012

Ustadzah Mimin Aminah

Pagi itu,3 Mei 1998, dari Jakarta saya diundang mengisi seminar di IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Saya duduk di bangku kedua dari depan sambil menunggu kedatangan pembicara lain, Mimin Aminah, yang belum saya kenal. Jam sembilan tepat, panitia menghampiri saya dan memperkenalkan ia yang baru saja tiba. Saya segera berdiri menyambut senyumnya yang lebih dulu merekah. Ia seorang yang bertubuh besar, ramah dalam balutan gamis biru dan jilbab putih yang cukup panjang. Kami berjabat tangan erat, dan saat itu tegas dalam pandangan saya menerpa dua kruk(tongkat penyangga yang dikenakannya) serta sepasang kaki lemah dan kecil yangditutupi kaos kaki putih. Sesaat batin saya hening, lalu melafazkan kalimat takbir dan tasbih.

Saat acara seminar dimulai, saya mendapat giliran pertama. Saya bahagia karena para peserta tampak antusias. Begitu juga ketika giliran Mimin tiba. Semua memperhatikan dengan seksama apa yang disampaikannya. Kata-kata yang dikemukakannya indah dengan retorika yang menarik. Wawasannya luas, pengamatannya akurat. Saya tengah memandang wajah dengan pipi merah jambu itu saat Mimin berkata dengan nada datar, "Saya diuji Allah dengan cacat kaki ini seumur hidup saya."
Ia tersenyum, "Saya lahir dalam keadaan seperti ini. Mungkin banyak orang akan pesimis menghadapi keadaan yang demikian, tetapi sejak kecil saya telah memohon seuatu pada Allah, " Ia terdiam sesaat dan kembali tersenyum. "Ya, agar mereka ingat Allah saat menatap saya. Itu saja."
Dulu takada orang yang menyangka bahwa ia akan bisa kuliah. "Saya kuliah di Fakultas Psikologi," katanya seraya menambahkan bahwa teman-teman pria dan wanita Universitas Islam Bandung tempat kuliahnya itu senantiasa bergantian membantunya menaiki tangga bila kuliah diadakan di lantai dua atau tiga. Bahkan mereka hafal jam datang serta jam kuliah yang diikutinya, "Diantara mereka ada yang membawakan sebelah tongkat saya, ada yang memapah dan ada juga yangmenunggu di atas," kenangnya.
Dan civitas akademika yang lain? Menurut Mimin, ia sering mendengar Orang menyebut-nyebut nama Allah saat menatapnya, Mereka berkata, " Ya Allah, bisa juga ya, dia kuliah." Senyumnya mengembang lagi. "Saya bahagia karena mereka menyebut nama Allah. Bahkan ketika saya berhasil menamatkan kuliah,  keluarga, kerabat atau teman kembali memuji Allah. Alhamdulillah, Allah memang Maha Besar. Begitu kata mereka."
Muslimah bersahaja kelahiran tahun 1966 ini juga berkata bahwa ia tak pernah bermimpi akan ada lelaki yang mau mempersuntingnya. "Kita tahu, terkadang orang normal pun susah mendapatkan jodoh, apalagi seseorang yang cacat seperti saya. Ya, tawakal saja."
Makanya semua geger, ketika tahun 1993 ada seorang lelaki yang saleh, Mapan dan normal melamarnya. "Dan lagi-lagi saat walimah, saya dengar banyak orang menyebut-nyebut nama Allah dengan takjub. Allah itu Maha Kuasa, ya. Maha adil Masya Allah, Alhamdulillah dan sebagainya," ujarnya penuh syukur. Saya memandang Mimin dalam.

Menyelami batinnya dengan mata mengembun, "Lalu, saat saya hamil, hampir semua yangbertemu saya, bahkan orang yang tak mengenal saya, takjub seraya lagi-lagi mengagung-agungkan asma Allah. Ketika saya hamil besar, banyak orang yangmenyarakan saya agar tidak ke bidan, melainkan ke dokter untuk operasi. Bagaimanapun saat seorang ibu melahirkan, otot-otot panggul dan kaki sangat berperan. Namun saya pasrah. Saya merasa tak ada masalah dan yakin bila Allah berkehendak semua menjadi akan menjadi mudah. Dan Alhamdulillah, saya melahirkan lancar, dibantu bidan," pipi Mimin memerah kembali. "Semua orang melihat saya dan mereka mengingat Allah. Allahu Akar, Allah memang Maha Adil, kata mereka berulang-ulang."
Hening, ia terdiam agak lama. Mata saya basah, menyelami batin Mimin. Tiba-tiba saya merasa bersyukur saya teramat dangkal dibandingkan nikmatNya selama ini. Rasa malu menyergap seluruh keberadaan saya. Saya belum apa-apa. Yang selama ini telah saya lakukan belumlah apa-apa. Astagfirullah. Tiba-tiba saya ingin segera turun dari tempat saya duduk sebagai pembicara sekarang, dan pertamakalinya selama hidup saya, saya menahan air mata di atas podium. Bisakah orangmengingat Allah saat memandang saya, seperti saat mereka memandang Mimin?
Saat seminar usai dan Mimin dibantu turun dari panggung, pandangan saya masih kabur. Juga saat seorang dari dua anaknya menghambur ke pelukannya. Wajah teduh Mimin tersenyum bahagia, sementara telapak kanannya berusaha membelai kepala si anak. Tiba-tiba saya seperti melihat anak saya, yang selalu bisa saya gendong kapansaya suka. Ya Allah, betapa banyak kenikmatan yang Kau berikan padaku.
Ketika Mimin pamit seraya merangkul saya dengan erat dan berkata betapa dia mencintai saya karena Allah, seperti ada suara menggema di seluruh rongga jiwa saya. "Subhanallah, Maha Besar Engkau Ya Robbi, yang telah memberi pelajaran pada saya dari pertemuan dengan hambaMu ini. Kekalkanlah persaudaraan kami di Sabilillah. Selamanya. Amin." Mimin benar. Memandangnya, saya pun ingat padaNya. Dan cintasaya pada sang pencipta, yang menjadikan saya sebagaimana adanya, semakin mengkristal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar