Dalil: Sabar
Posted by: sari on: 8 Juni 2009
In: dalil Comment!
Dalil adalah pedoman atau pegangan kita dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam beribadah. Sebagai umat Islam, tentunya Al Quran dan Sunnah menjadi dalil yang kuat untuk kita. Bila di antara golongan ada yang berselisih pendapat, kewajiban umat Islam untuk mengembalikannya lagi kepada dalil-dalil ini, yaitu Quran dan Hadits. Dalil bukanlah perkataan ulama maupun ustadz, tetapi perintah langsung dari Allah swt.
Dalil yang akan diberikan kali ini adalah dalil tentang sabar. Tentunya kita sering mendengar kalimat ini: “Orang sabar disayang Tuhan“. Sabar adalah sifat terpuji dalam akhlak Islam. Dalam dalil Al Quran, Allah swt telah memerintahkan umat muslim untuk memiliki sifat sabar dalam hal dan kondisi apapun. Begitu pula Nabi Muhammad saw yang telah mencontohkan para pengikutnya untuk selalu sabar dalam kehidupan sehari-hari, yang tertuang dalam dalil Al Hadits.
Banyak sekali dalil yang memerintahkan kita untuk memiliki sifat sabar, baik dalam Al Quran maupun Hadits. Dalil-dalil ini tentunya sah secara hukum dan wajib kita ikuti sebagai pedoman hidup kita. Dalil-dalil tentang sabar ini antara lain:
Al Quran
“Wahai sekalian orang-orang yang beriman sabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu.” (QS. Ali Imran:200)
“Sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kamu sekalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah:155)
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahalanya tanpa batas.” (QS. Az Zumar:10)
“Sungguh berbahagialah orang yang sabar dan mau memaafkan, karena perbuatan semacam itu termasuk perbuatan-perbuatan yang sangat utama.” (QS. As Syura:43)
“Mohon pertolonganlah kamu sekalian dengan sabar dan mengerjakan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah:153)
“Sungguh Kami benar-benar akan menguji kamu sekalian agar Kami mengetahui orang-orang yang berjuang dan orang-orang yang sabar di antara kamu sekalian.” (QS. Muhammad:31)
Dalil-dalil Al Quran di atas merupakan perintah Allah swt untuk hambaNya mengenai sabar. Allah swt akan memberikan pahala bagi orang yang mampu bersabar. Dalil pada surat Al Baqarah:153 mengatakan bahwa sholat dapat membawa kita pada sifat sabar, serta Allah swt akan selalu bersama orang-orang yang sabar.
Hadits
Dari Abu Malik Al Haris bin ‘Ashim Al Asy’ari ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Suci adalah sebagian dari iman, Alhamdulillah itu dapat memenuhi timbangan, Subhanallah dan Alhamdulillah itu dapat memenuhi apa yang ada di antara langit dan bumi, Shalat itu adalah cahaya, Shadaqah itu adalah bukti iman, sabar itu adalah pelita, dan Al Quran itu adalah hujjah (argumentasi) terhadap apa yang kamu sukai ataupun terhadap apa yang kamu tidak sukai. Semua orang pada waktu pagi menjual dirinya, ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang membinasakan dirinya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Sa’id Sa’d bin Malik bin Sinan Al Khudry ra bahwasannya ada beberapa orang sahabat Anshar meminta kepada Nabi Muhammad saw maka beliau memberinya, kemudian mereka meminta lagi dan beliau pun memberinya sehingga habislah apa yang ada pada beliau. Ketika beliau memberikan semua apa yang ada di tangannya, beliau bersabda kepada mereka: “Apapun kebaikan yang ada padaku tidak akan aku sembunyikan pada kamu sekalian. Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya maka Allah pun akan menjaganya. Barangsiapa yang menyabarkan dirinya maka Allah pun akan memberikan kesabaran padanya. Dan seseorang itu tidak akan mendapatkan anugerah yang lebih baik atau lebih lapang melebihi kesabaran.” (HR. Bukhari Muslim)
Nabi Muhammad saw bersabda, “Memang sangat menakjubkan keadaan orang mukmin itu; karena segala urusannya sangat baik baginya dan ini tidak akan terjadi kecuali bagi seseorang yang beriman dimana bila mendapatkan kesenangan ia bersyukur maka yang demikian itu sangat baik baginya, dan bila ia tertimpa kesusahan ia sabar maka yang semikian itu sangat baik baginya.” (HR. Muslim)
Dari Anas ra berkata, saya mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah swt berfirman: “Apabila Aku menguji salah seorang hambaKu dengan buta kedua matanya kemudian ia sabar maka Aku akan menggantikannya dengan sorga.” (HR. Bukhari)
Dalil tentang sabar yang berasal dari hadits atau sunnah Rasul di atas patut kita tiru, karena Nabi Muhammad saw adalah panutan umat Islam. Semoga dalil-dalil ini dapat membuat kita selalu bisa sabar dalam menghadapi cobaan apapun di dunia.
Jumat, 20 April 2012
Dalil Lengkap Sunnahnya mencium tangan ulama dan orang shaleh
Belakangan kelompok yang mengaku membawa jargon “basmi TBC” semakin
menyebar di masyarakat kita. Mereka tidak sadar, sebenarnya meraka
sendiri yang terkena “TBC”. Label mereka “Salafiyyah”, padahal
sebenarnya mereka “Talafiyyah” (kaum perusak). Di antara masalah yang
mereka pandang sebagai bid’ah sesat, bahkan sebagian mereka menyebutnya
sebagai perbuatan syirik, adalah masalah “cium tangan”. Tanpa alasan
yang jelas mereka mengatakan bahwa mencium tangan seseorang adalah
perbuatan bid’ah, bahkan mendekati syirik. A’udzu Billah.
Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat berikut ini. Di antaranya;
Hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)
berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.
Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits (Ibn Hibban meriwayatkannya dalam Kitab adl-Dlu’afa’, j. 2, h. 51, al-Hafizh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir menganggapnya dla’if. Demikian pula dinyatakan dla’if oleh al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh Ibn Hajar, dan lainnya. Bahkan al-Hafizh Ibn al-Jauzi mengklaimnya sebagai hadits Maudlu’. Lihat al-Maudlu’at, j. 3, h. 46-47).
Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!? Hasbunallah.
Sekali lagi, jadi siapa sebenarnya yang memelihara “TBC”?? Anda jangan pernah menjadi maling yang teriak maling, karena walau anda selamat, pada akhirnya anda akan kualat…..
Perlu diketahui bahwa mencium tangan orang yang saleh, penguasa yang bertakwa dan orang kaya yang saleh adalah perkara mustahabb (sunnah) yang disukai Allah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah dan dan atsar para sahabat berikut ini. Di antaranya;
- Hadits riwayat al-Imam at-Tirmidzi dan lainnya, bahwa ada dua orang Yahudi sepakat menghadap Rasulullah. Salah seorang dari mereka berkata: “Mari kita pergi menghadap -orang yang mengaku- Nabi ini untuk menanyainya tentang sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa”. Tujuan kedua orang Yahudi ini adalah hendak mencari kelemahan Rasulullah, karena beliau adalah seorang yang Ummi (tidak membaca dan tidak menulis). Mereka menganggap bahwa Rasulullah tidak mengetahui tentang sembilan ayat tersebut. Ketika mereka sampai di hadapan Rasulullah dan menanyakan prihal sembilan ayat yang diturunkan kepada Nabi Musa tersebut, maka Rasulullah menjelaskan kepada keduanya secara rinci tidak kurang suatu apapun. Kedua orang Yahudi ini sangat terkejut dan terkagum-kagum dengan penjelasan Rasulullah. Keduanya orang Yahudi ini kemudian langsung mencium kedua tangan Rasulullah dan kakinya. Al-Imam at-Tarmidzi berkata bahwa kulitas hadits ini Hasan Shahih (Lihat Jami’ at-Tirmidzi, Kitab al-Isti’dzan, Bab Ma Ja’a Fi Qublah al-Yad Wa ar-Rijl).
- Abu asy-Syaikh dan Ibn Mardawaih meriwayatkan dari sahabat Ka’ab ibn Malik, bahwa ia berkata:
“Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubat-ku, aku mendatangi Rasulullah lalu mencium kedua tangan dan kedua lututnya” ( Lihat ad-Durr al-Mantsur, j. 4, h. 314).
- Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad bahwa sahabat ‘Ali ibn Abi Thalib telah mencium tangan al-‘Abbas ibn ‘Abd al-Muththalib dan kedua kakinya, padahal ‘Ali lebih tinggi derajatnya dari pada al-‘Abbas. Namun karena al-‘Abbas adalah pamannya sendiri dan seorang yang saleh maka dia mencium tangan dan kedua kakinya tersebut (Lihat al-Adab al-Mufrad, h. 328).
- Demikian juga dengan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, salah seorang dari kalangan sahabat yang masih muda ketika Rasulullah meninggal. ‘Abdullah ibn ‘Abbas pergi kepada sebagian sahabat Rasulullah lainnya untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika beliau pergi kepada Zaid ibn Tsabit, salah seorang sahabat senior yang paling banyak menulis wahyu. Saat itu Zaid ibn Tsabit sedang keluar dari rumahnya. Melihat itu, dengan cepat ‘Abdullah ibn ‘Abbas memegang tempat pijakan kaki dari pelana hewan tunggangan Zaid ibn Tsabit. ‘Abdullah ibn ‘Abbas menyongsong Zaid untuk menaiki hewan tunggangannya tersebut. Namun tiba-tiba Zaid ibn Tsabit mencium tangan ‘Abdullah ibn ‘Abbas, karena dia adalah keluarga Rasulullah. Zaid ibn Tsabit berkata: “Seperti inilah kami memperlakukan keluarga Rasulullah”. Padahal Zaid ibn Tsabit jauh lebih tua dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh al-Hafizh Abu Bakar ibn al-Muqri dalam Juz Taqbil al-Yad.
- Ibn Sa’d juga meriwayatkan dengan sanad-nya dalam kitab Thabaqat dari ‘Abd ar-Rahman ibn Zaid al-‘Iraqi, bahwa ia berkata: “Kami telah mendatangi Salamah ibn al-Akwa’ di ar-Rabdzah. Lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta, kemudian dia berkata: “Dengan tanganku ini aku telah membaiat Rasulullah”. Oleh karenanya lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya” (Lihat Thabaqat Ibn Sa’d, j. 4, h. 229).
- Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa al-Imam Muslim mencium tangan al-Imam al-Bukhari. Al-Imam Muslim berkata kepadanya:وَلَوْ أَذِنْتَ لِيْ لَقَبَّلْتُ رِجْلَكَ.“Seandainya anda mengizinkan pasti aku cium kaki anda” (Lihat at-Taqyid Li Ma’rifah as-Sunan Wa al-Masanid, h. 33).
- Dalam kitab at-Talkhish al-Habir, al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani
menuliskan sebagai berikut:“Tentang masalah mencium tangan ada banyak
hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar ibn al-Muqri, beliau
mengumpulkannya dalam satu juz penuh. Di antaranya hadits ‘Abdullah ibn
‘Umar, dalam menceritakan suatu peristiwa di masa Rasulullah, beliau
berkata:فَدَنَوْنَا مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَبَّلْنَا يَدَهُ وَرِجْلَهُ (رواه أبو داود)
“Maka kami mendekat kepada Rasulullah lalu kami cium tangan dan kakinya”. (HR. Abu Dawud)
Di antaranya juga hadits Shafwan ibn ‘Assal, dia berkata: “Ada seorang Yahudi berkata kepada temannya: Mari kita pergi kepada Nabi ini (Muhammad). Kisah lengkapnya seperti tertulis di atas. Kemudian dalam lanjutan hadits ini disebutkan:
فَقَبَّلاَ يَدَهُ وَرِجْلَهُ وَقَالاَ: نَشْـهَدُ أَنَّكَ نَبِيٌّ.
“Maka keduanya mencium tangan Nabi dan kakinya lalu berkata: Kami bersaksi bahwa engkau seorang Nabi”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Para Penulis Kitab-kitab Sunan (al-Imam at-Tirmidzi, al-Imam an-Nasa’i, al-Imam Ibn Majah, dan al-Imam Abu Dawud) dengan sanad yang kuat. - Juga hadits az-Zari’, bahwa ia termasuk rombongan utusan ‘Abd al-Qais, bahwa ia berkata:فَجَعَلْنَا نَتَبَادَرُ مِنْ رَوَاحِلِنَا فَنُقَبِّلُ يَدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.“Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wa Sallam”. (HR. Abu Dawud)
- Dalam hadits tentang peristiwa al-Ifk (tersebarnya kabar dusta bahwa as-Sayyidah ‘Aisyah berbuat zina) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata: “Abu Bakar berkata kepadaku:قُوْمِيْ فَقَبِّلِيْ رَأْسَهُ.“Berdirilah dan cium kepalanya (Rasulullah)”. (HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, j. 23, h. 108-114).
- Dalam kitab sunan yang tiga (Sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi dan
an-Nasa-i) dari ‘Aisyah, bahwa ia berkata:مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ
أَشْبَهَ سُمْتًا وَهَدْيَا وَدَلاًّ بِرَسُوْلِ اللهِ مِنْ فَاطِمَةَ،
وَكَانَ إِذَا دَخَلَتْ عَلَيْهِ قَامَ إِلَيْهَا فَأَخَذَ بِيَدِهَا
فَقَبَّلَهَا وَأَجْلَسَهَا فِيْ مَجْلِسِهِ، وَكَانَتْ إِذَا دَخَلَ
عَلَيْهَا قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ،
وَأَجْلَسَتْهُ فِيْ مَجْلِسِهَا.“Aku tidak pernah melihat seorangpun
lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup
dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Rasulullah, maka
Rasulullah berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Fathimah, kemudian
Rasulullah mencium Fathimah dan membawanya duduk di tempat duduk
beliau. Dan apabila Rasulullah datang kepada Fathimah, maka Fathimah
berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan Rasulullah, kemudian mencium
Rasulullah, setelah itu ia mempersilahkan beliau duduk di tempatnya”.
Demikian penjelasan al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab at-Talkhish al-Habir.
Dalam hadits yang terakhir disebutkan, juga terdapat dalil tentang kebolehan berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat, jika memang bertujuan untuk menghormati bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.
Hadits riwayat al-Imam Ahmad dan al-Imam at-Tirmidzi dari Anas ibn Malik yang menyebutkan bahwa para sahabat jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri untuknya karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu, hadits ini tidak menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Pemaknaan hadits ini bahwa Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau takut akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Dengan demikian, Rasulullah tidak menyukai hal itu karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya. Sebagaimana sudah diketahui bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi ia meninggalkannya meskipun ia menyukainya karena beliau menginginkan keringanan bagi ummatnya.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Abu Dawud dan al-Imam at-Tirmidzi bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رَوَاه أبو دَاوُد والتّرمذيّ)
berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Jika mereka ada di suatu majelis lalu raja mereka masuk, maka mereka berdiri untuk raja tersebut dengan Tamatstsul; artinya berdiri terus hingga sang raja pergi meninggalkan majelis atau tempat tersebut. Ini yang dimaksud dengan Tamatstsul dalam bahasa Arab.
Sedangkan riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Rasulullah menarik tangannya dari tangan orang yang hendak menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut ahli hadits (Ibn Hibban meriwayatkannya dalam Kitab adl-Dlu’afa’, j. 2, h. 51, al-Hafizh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shaghir menganggapnya dla’if. Demikian pula dinyatakan dla’if oleh al-Hafizh al-‘Iraqi, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh Ibn Hajar, dan lainnya. Bahkan al-Hafizh Ibn al-Jauzi mengklaimnya sebagai hadits Maudlu’. Lihat al-Maudlu’at, j. 3, h. 46-47).
Maka sangat aneh bila ada orang yang menyebut-nyebut hadits dla’if ini dengan tujuan menjelekkan perbuatan mencium tangan. Bagaimana dia meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, dan dia berpegangan dengan hadits yang sangat lemah untuk melarangnya!? Hasbunallah.
Sekali lagi, jadi siapa sebenarnya yang memelihara “TBC”?? Anda jangan pernah menjadi maling yang teriak maling, karena walau anda selamat, pada akhirnya anda akan kualat…..
Buku Tulis Albykazi
Kekuatan Penantian | untuk semuanya |
Ada kekuatan besar sejatinya dibalik nilai-nilai penantian. Penantian yang tentunya memiliki sebuah usaha untuk menggapainya. Bukan sekedar penantian tanpa batasan waktu jelas, ataukah penantian yang semakin membebankan, atau pun penantian dengan api emosi terpendam. Penantian adalah sebuah keindahan. Bukankah tidak semua hal yang diinginkan pun terkadang membuat seseorang menunggu hasilnya. Dan Allah sebagai Maha Pemberi pastinya mengetahui kapan waktu hasil tersebut mesti diberikan kepada hambanya. Dan Allah pun Maha Melihat dari tiap usaha hambanya. Penantian dari sebuah usaha agar mendapatkan hasil yang paripurna. Bukankah pula ada memang mereka-mereka yang mencintai dan serius menikmati indahnya
Sebuah ucapan indah seorang Ibnu Jauzi soal penantian, ya penantian atas sebuah usaha pertobatan dengan harap doa terkabulkan, “Aku ingin beribadah dengan doa dan aku juga yakin suatu saat, doaku pasti dikabulkan. Hanya saja, mungkin tidak sekarang dikabulkan, demi kemaslahatanku yang akan datang pada waktunya nanti. Dan jika tidak dikabulkan pun, aku sudah beruntung bisa beribadah dan menyerahkan diri kepada Allah.” Begitulah penantian, selalu ada saja hikmah yang mengiringinya. Bisa jadi apabila tidak menanti, kita mendapatkan hasil yang ternyata lebih banyak madharatnya. Nikmatilah penantian jangan tergesa memaksakan tanpa perkiraan. Sebagaimana Jundub bin Junadah radhiyallahu ‘anhu diantara dakwahnya pada Bani Ghifar dan Bani Aslam.
Penantian Bani Ghifar dan Aslam
Termasuk juga generasi pertama yang masuk Islam adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Dia adalah seorang dari Arab gunung (Badui) yang manis tutur katanya dan fasih (demikianlah keistimewaan orang-orang Badui dalam segi bahasa mereka sangat fasih, pen).
Ketika dia mendengar diutusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, dia menyuruh saudaranya: "Naikilah kendaraanmu ke lembah ini dan beritahu aku tentang berita orang yang mengaku nabi dan datang kepadanya berita dari langit! Dengarlah ucapannya, dan bawalah kemari." Maka berangkatlah ia sampai datang ke Makkah. Di sana ia mendengar ucapan Rasul shallallahu alaihi wa sallam, kemudian kembali kepada Abu Dzar dan berkata: "Aku melihat dia menyuruh agar kita berakhlak yang mulia dan dia mengucapkan ucapan yang bukan sya'ir."
Abu Dzar berkata: "Engkau tidak mencukupi apa yang aku inginkan." Kemudian dia mempersiapkan bekalnya, membawa tempat airnya dan berangkatlah beliau ke Makkah. Beliau mendatangi masjid dan mencari-cari Nabi shallallahu alaihi wa sallam (dalam keadaan tidak mengenalinya). Tapi dia tidak suka untuk bertanya tentangnya, karena dia mengetahui kebencian Quraisy kepada setiap orang yang berhubungan dengan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Ketika datang waktu malam, Ali radhiallahu anhu melihat dia. Maka tahulah Ali radhiallahu anhu bahwa dia orang asing. Diajaknya dia sebagai tamunya di rumahnya. Ali tidak bertanya tentang sesuatu (tujuan atau keperluan) satu sama lain sesuai dengan kaidah dalam menghormati tamu di kalangan Arab, yaitu tidak bertanya tentang tujuan dan maksud kedatangannya, kecuali setelah tiga hari.
Pada pagi harinya, kembali dia membawa tempat air dan bekalnya ke masjid sampai habis hari itu dan dia belum melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka ketika petang hari, dia kembali ke pembaringannya di masjid. Kemudian Ali melewatinya dan berkata: "Bukankah sudah waktunya seorang untuk mengetahui rumah yang kemarin dia diterima sebagai tamunya?" Maka dibangunkannya kemudian pergi bersamanya, juga tak saling bertanya satu sama lainnya. Pada hari yang ketiga, kembali dia seperti tadi, maka Ali berkata kepadanya: "Tidaklah engkau mau mengabarkan kepadaku apa yang menyebabkan engkau datang kemari?" Dia berkata: "Kalau engkau mau memberikan janji kepadaku mau menunjukkan aku, akan kerjakan (menjawab)." Maka Ali memberikan janjinya dan dia mengabarkan. Ali berkata: "Sesungguhnya itu adalah haq. Dia adalah utusan Allah. Jika pagi hari nanti, ikutilah aku. Kalau aku melihat sesuatu yang aku khawatirkan atasmu aku berhenti, seakan-akan aku menuangkan air. Dan jika aku berjalan, ikutilah aku sampai engkau masuk ke tempat aku masuk." Abu Dzar pun mengerjakan yang demikian. Dia berangkat mengikuti jejak Ali sampai masuk ke tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan mendengarkan ucapannya. Di situ beliau masuk Islam dan berkatalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam: "Pulanglah engkau ke kaummu dan khabarkanlah kepada mereka (tentang aku) sampai datang perintahku." Dia berkata (Abu Dzar): "Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku akan menyeru dengannya di tengah-tengah mereka (kaum Quraisy)." Dia segera keluar hingga mendatangi masjid berseru dengan sekeras suaranya: "Asyhadu anla ilaha Illallah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah!" Maka bangkitlah kaum Quraisy dan memukulinya hingga ia terbaring. Abbas pun datang memarahi mereka dan mengucapkan: "Celaka kalian! Tidakkah kalian tahu bahwa dia dari suku Ghifar? Jalan perdagangan kalian ke Syam melewati mereka." Abbas segera menolongnya dan menyelamatkannya dari mereka. Tetapi kembali Abu Dzar mengulanginya pada keesokan harinya dan kembali mereka memukulinya sampai Abbas datang kembali. (HR. Bukhari dalam Manaqibul Anshar dan Muslim dalam Fadha`il Shahabah), dan dalam riwayat lain berisi sambungan hadits tersebut yakni Rasulullah menyuruh Abu Dzar kembali ke kaumnya. Dan menunggu berita selanjutnya dari Nabi shalallahu ‘alayhi wa sallam. Hingga akhirnya suatu ketika Rasulullah berpapasan dengan jumlah orang banyak ketika perjalanan safar. Menemukan sebagian besar Bani Ghifar dan Bani Aslam telah masuk Islam atas upaya Abu Dzar. Berkatalah Rasulullah, “Semoga Allah mengampuni Suku Ghifar, dan memberikan keselamatan atas Suku Aslam”
Mengindahkan Penantian
Indahnya sebuah penantian berakhir doa yang menjanjikan. Bukankah memang kita hidup hanya penuh dengan penantian sebagai sebuah jawaban pasti dari usaha yang tiap detak gerik dilakukan. Bukankah hari ini kita sama-sama menanti kematian? Dan kita mengetahui soal dahsyatnya hari-hari setelah kematian? Begitulah penantian. Tidak mesti selamanya menjenuhkan dan membosankan. Selagi upaya telah berjalan, maka biarkanlah penantian mengisi selang jawaban untuk mengakhiri hasilnya pada tabung keputusan. Ada kala tabung itu berisi sangat pelan, namun pasti akan penuh sekalipun waktunya berlama jalan. Bisa pula cepat terisi dengan sangat seiring tekanan yang kuat dari aliran hulunya menuju hilir tanpa sumbatan. Penantian, mengajarkan kita untuk lebih banyak sadar memupuk kesabaran.
Bukan penantian konyol yang disajikan para kaumnya Musa ‘alayhissalam, Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain". Musa berkata: "Hai kaumku, masuklah ke tanah Suci (Palestina) yang Telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. Mereka berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah Perkasa, Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka ke luar daripadanya. jika mereka ke luar daripadanya, pasti kami akan memasukinya". Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah Telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan Hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". Mereka berkata: "Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasuki nya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, Karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, Sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja". Berkata Musa: "Ya Tuhanku, Aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu". Allah berfirman: "(Jika demikian), Maka Sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu." (QS. Al_Maa’idah : 21-26).
Penantian terindah ialah saat mengerjakan apa yang dapat dilakukan dan terdekat dengan momentum termudah untuk dikejar, sebagaimana Ibnu Umar berkata disaat beliau usai mengucapkan hadits Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam, “Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat (musafir).” (HR. Al-Bukhari no. 6416), “Bila engkau berada di sore hati maka janganlah engkau menanti datangnya pagi. Sebaliknya bila engkau berada di pagi hari, janganlah menanti datangnya sore hari. Gunakanlah waktu sehatmu (untuk beramal ketaatan) sebelum datang sakitmu. Dan gunakan hidupmu (untuk beramal shalih) sebelum kematian menjemputmu.”
Maka janganlah bermurung durja dalam menanti, sebab demikian menyumbat hasil atas jawaban yang diingini. Akan tetapi hiasi momentum penantian dengan manfaat yang menyisakan penantian berikutnya. Agar ketika satu penantian terjawab memuaskan, maka telah ada usaha yang terserahkan untuk dinanti jawaban berikutnya. Berputar mengisi tanpa henti aliran deras penuh tekanan bernama ketawakalan.
بسم الله الرحمن الرحيم
:عَنْ أَبِي كَبْشَةِ الْأَنْمَارِيِّ رضي الله تعالى عنهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Faidah-faidah yang bisa diambil dari hadits di atas adalah:
:ثَلَاثٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ
.مَا نَقَّصَ مَالٌ عَبْدٍ مِن صَدَقَةٍ
.وَلاَ ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً صَبَرَ عَلَيْهَا إلاَّ زَادَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِزًّا
.وَلاَ فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إلاَّ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيهِ بَابَ فَقْرٍ
:وَ أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ، إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ
،عَبدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ
.وَيَعْملُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا فَهَذَا بِأَفْضَلِ الْمَنَازِلِ
:وَعَبدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ تعالى عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً، فَهُوَ صَادِقُ النِيَّةِ يَقُولُ
.لَوْ أنَّ لِي مَالاً، لعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ، فَهُوَ بِنِيَّتِهِ، فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ
،وَعَبدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا
،يَخْبَطُ فِي مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، لَا يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ
.وَلاَ يَعْمَلُ لِلَّهِ فِيهِ حَقًّا، فَهَذَا بِأَخْبَثِ الْمَنَازِلِ
:وَعَبدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا، فَهُوَ يَقُولُ
.لَوْ أنّ لِي مَالاً، لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ، فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ
Dari Abi Kabsyah Al-Anmaariyyi Radhiyallahu Ta’ala ‘anhu: Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Ada 3perkara yang aku bersumpah atasnya (atas kebenaran perkara-perkara tersebut):
- Tidaklah akan berkurang harta seorang hamba dikarenakan melakukan shadaqah.
- Tidaklah seorang hamba ter-dzalimi dengan ke-dzaliman yang ia bersabar atasnya, melainkan Allah ‘Azza wa Jalla akan menambah baginya kemuliaan.
- Tidaklah seorang hamba membuka pintu untuk meminta-meminta, melainkan Allah Ta’ala akan membuka untuknya pintu ke-faqiran (selalu butuh dan merasa kekurangan).
- Seorang hamba yang Allah Ta’ala beri rezki kepadanya harta dan ilm. Kemudian ia dengan rezkinya tersebut bertaqwa kepada Allah, menyambungkan tali silaturahmi dan ber-‘amal kepada Allah dengan benar. Maka ini tingkatan yang paling utama.
- Seorang hamba yang Allah Ta’ala beri rezki kepadanya ilm, akan tetapi tidak diberi rezki harta. Kemudian ia berniat dengan benar dengan mengatakan: kalau saja ada harta bagiku, sungguh aku akan ber-amal seperti amalnya si fulan (yakni hamba pada tingkatan ke-1). Maka baginya sesuai dengan niatnya, dan pahala keduanya (yakni hamba tingkatan ke-2 dan ke-1) adalah sama.
- Seorang hamba yang Allah Ta’ala beri rezki kepadanya harta, akan tetapi tidak diberi rezki ilmu. Ia menggunakan harta seenaknya tanpa ilmu (serampangan), dan ia dengan rezkinya tersebut tidak bertaqwa kepada Allah, tidak menyambungkan tali silaturahmi dan tidak ber-‘amal kepada Allah dengan benar. Maka ini tingkatan yang paling buruk.
- Seorang hamba yang tidak diberi rezeki oleh Allah Ta’ala baik harta maupun ilmu. Kemudian ia berniat dengan mengatakan: kalau saja ada harta bagiku, sungguh aku akan ber-amal seperti amalnya si fulan (yakni hamba pada tingkatan ke-3). Maka baginya sesuai dengan niatnya, dan dosa keduanya (yakni hamba tingkatan ke-4 dan ke-3) adalah sama.
Faidah-faidah yang bisa diambil dari hadits di atas adalah:
- Perkataan: ثَلَاثٌ أُقْسِمُ عَلَيْهِنَّ dan وَ أُحَدِّثُكُمْ حَدِيثًا فَاحْفَظُوهُ menunjukkan bahwasanya untuk menguatkan pembicaraan terkadang bisa dengan sumpah dan terkadang bisa dengan yang selainnya. Hal ini menimbulkan akan perhatian dan dorongan terhadap hal yang disumpahkan tadi, sehingga akan menarik perhatian pendengarnya.
- Wajib bagi para da’i penyeru kebaikan untuk meragamkan penggunaan uslub/metode berbicara dengan manusia sesuai dengan apa-apa yang dibicarakan.
- Perkataan: مَا نَقَّصَ مَالٌ عَبْدٍ مِن صَدَقَةٍ, menunjukkan adanya keberkahan dari zakat dan shadaqah.
- Perkataan: عَبدٍ, menunjukkan perlunya menghadirkan makna penghambaan diri ketika sedang beramal ketha’atan, karena hal tersebut akan lebih mendatangkan ke-ikhlash-an hati.
- Perkataan: وَلاَ ظُلِمَ عَبْدٌ مَظْلَمَةً صَبَرَ عَلَيْهَا إلاَّ زَادَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عِزًّا, menunjukkan keutamaan bersabar dan agungnya posisi kesabaran tersebut.
- Bahwasanya membiasakan kesabaran atas suatu kedzaliman menjadikan sebab kemuliaan dan ketinggian orang yang bersabar.
- Wajib bagi para da’i penyeru kebaikan untuk menjadi manusia yang paling depan untuk mencari dan membiasakan sifat sabar ini, karena hal tersebut akan menjadi sebab kuatnya dakwah mereka dan memperkuat pengaruh dakwahnya. Dan yang demikian adalah konsekuensi dari kesabaran.
- Bahwasanya balasan bagi orang-orang bertaqwa di dunia ini adalah kemuliaan, dan di akhirat kelak akan mendapat ketinggian (derajatnya).
- Perkataan: وَلاَ فَتَحَ عَبْدٌ بَابَ مَسْأَلَةٍ إلاَّ فَتَحَ اللَّهُ عَلَيهِ بَابَ فَقْرٍ, menunjukkan bahwa tidak adanya keinginan (untuk berusaha) dan kesabaran, juga tamak akan apa-apa yang ada di tangan manusia akan menjadi sebab kerendahan, baik secara fisik maupun maknawi.
- Bahwasanya manusia yang harus terdepan dalam menjauhi meminta-minta kepada penguasa dan selainnya adalah ahlul ilmi. Dikarenakan dari meminta-minta ini akan merendahkan diri dan melemahkan pengaruh dakwah mereka, terkhusus terhadap orang-orang yang dimintai tadi dan secara umum terhadap yang selainnya (kaum muslimun).
- Perkataan: إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ, menunjukkan wajib bagi seorang da’i untuk memberikan perhatian atas penyampaian ilmu kepada manusia dengan metode yang sejelas-jelas mungkin, misal dengan penyebutan angka-angka (seperti hadits di atas). Hal ini untuk memudahkan para pendengar dalam menghafalkan apa-apa yang mereka dengar dan memahaminya.
- Perkataan: …عَبدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَعِلْمًا, menunjukkan bahwasanya berkah harta –walaupun sedikit- tidak akan tercapai melainkan jika di-infaqkan dengan dua syarat: berilmu dan bertaqwa.
- Wajib bagi seseorang yang dikuasakan harta-harta manusia (ummat) -di mana para pemiliknya menginginkan segala kebaikan dari penyerahan harta tersebut– untuk bertaqwa kepada Allah Ta’ala, untuk meletakkan harta tersebut sesuai dengan amanahnya dan mencocoki ilmu syar’i. Jika ia bisa menunaikan amanah tersebut, maka dua orang akan mendapatkan pahala yakni si pemilik harta dan orang yang diserahkan untuk mengurus harta tersebut. Dan jika ia tidak mampu melaksanakan hal tersebut, tidak amanah dan tidak bisa menunaikannya secara ilmu syar’i, maka orang yang diserahi harta tersebut akan berdosa sementara para pemilik harta (muhsinin) tetap akan mendapatkan pahalanya.
- Bahwasanya silaturrahim dengan wasilah harta akan memperkuat tali kekerabatan, misal dengan membayarkan utang atau membantu perkara-perkara duniawi.
- Wajib bagi seorang da’i kebaikan untuk menjadi manusia yang terdepan di dalam perkara silaturahim ini. Karena yang demikian ini –setelah taufiq dari Allah Ta’ala- termasuk menjadi sebab diterimanya ilmu-ilmu dan nashihat-nashihat mereka.
- Perkataan: …وَعَبدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ تعالى عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالاً, menunjukkan adanya fadilah (keutamaan) ilmu bagi pemiliknya.
- Besarnya perkara kejujuran (dalam niat) ketika seseorang mengangankan kebaikan dari amalan yang dilakukannya.
- Anjuran untuk iri (Ghibthah=hasad/iri yang baik) kepada para pelaku kebaikan.
- Luasnya fadilah dan kebaikan Allah Ta’ala, di mana Allah Ta’ala memberikan pahala kepada orang-orang yang berangan-angan (disertai azzam yang kuat) kebaikan sebagaimana pahala bagi pelaku kebaikan itu sendiri.
- Wajib bagi para thalabul ilm untuk bersemangat mengambil faedah dari para ahlul ilm, sehingga bisa menyamai mereka dalam hal pahalanya – tanpa mengurangi pahala dari para ahlul ilm itu sedikitpun juga. Jika mereka tidak bisa menyamai para ahlul ilm tersebut, maka mereka akan diberikan pahala sesuai dengan niatnya.
- Perkataan: وَعَبدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ مَالاً وَلَمْ يَرْزُقْهُ عِلْمًا…وَعَبدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالاً وَلاَ عِلْمًا, menunjukkan kebalikan dari 2jenis manusia yang sudah disebutkan di awal.
- Sempurnanya keadilan dan hikmah Allah Ta’ala. Di mana Allah Ta’ala memberikan keutamaan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menahannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan keadilan-Nya dan sungguh Allah Ta’ala tidak mendzalimi hamba-Nya sedikitpun.
Ulama Sunnah
Kasih Sayang Rasullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam terhadap Hewan
Mei 31, 2011 oleh Admin Ulama Sunnah

1. Dari Suhail bin Hanzhaliyah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati unta yang kurus, lalu beliau bersabda,
اِتَّقُوا اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ الْمُعْجَمَةِ فَأَرْكَبُوْهَا صَالِحَةً ، وَكُلُوْهَا صَالِحَةً
“Bertaqwalah kepada Allah dari unta ini, dan kendarailah dengan baik serta beri makan yang baik”. (HR. Abu Dawud dan dihasankan oleh Al-Arnauth).
2. Dari ‘Abdullah dari bapaknya, beliau berkata, “Dahulu kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam safar, lalu beliau berpaling sebentar untuk suatu hajat, kami melihat Humarah (burung berwarna merah) bersama dua anaknya. Kami pun mengambil dua anak tersebut dan datanglah induknya dengan kebingungan (mengepak-epak sayapnya). Tatkala itu datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bersabda,
مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بولدها ؟ رُدُّوا وَلَدَهَا إِلَيْهَا
“Siapa yang menyakiti burung ini? Kembalikan anaknya ini pada burung ini”.
Dan ketika beliau melihat sekumpulan semut yang kami bakar sarangnya, beliau bersabda,
مَنْ أَحْرَقَ هَذِهِ؟
“Siapa yang telah membakar ini?”
Kami menjawab, “Kami (yang telah membakarnya)”. Beliau bersabda,
لاَ يَنْبَغِي أَنْ يُعذب بِالنَّارِ إِلاَّ رَبُّ النَّارِ
“Tidak sepantasnya mengadzab dengan api melainkan Rabbun Nar (yaitu Allah ta’ala)”. (HR. Ahmad dan selainnya dan dishahihkan oleh Al-Arnauth).
3. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memiringkan bejana untuk seekor kucing sehingga kucing tersebut bisa minum air darinya. Kemudian beliau berwudhu dengan sisanya. (HR. Ath-Thabrani dengan sanad shahih.)
4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوْا الْقِتْلَةَ، وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَةِ ، وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ ، فََلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan ihsan (kebaikan) atas segala sesuatu, maka jika kalian membunuh, maka perbaguslah dalam membunuhnya, dan jika menyembelih, maka perbaguslah sembelihannya, dan hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sesembelihannya”. (HR. Muslim).
5. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati seseorang yang menginjakkan kakinya di atas lambung seekor kambing sambil menajamkan pisaunya dan diperlihatkan di depan mata kambing itu. Beliau bersabda,
أَتُرِيْدُ أَنْ تميتها مَوْتَتَيْنِ ؟ هَلا حَدَّدْتَ شفرتَكَ قَبْلَ أَنْ تضجعَهَا
“Apakah kamu ingin membunuhnya dengan dua kematian? Tidakkah kamu tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkannya?” (HR. Al-Hakim dan beliau berkata hadits ini shahih atas syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim, dan disepakati pula oleh Adz-Dzahabi)
6. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلَا سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
“Seorang wanita telah diazab karena mengurung seekor kucing sampai mati dan dia dimasukkan dalam neraka, karena dia tidak memberi makan dan minum ketika mengurungnya dan tidak pula dia melepaskannya sehingga bisa makan serangga”. (HR. Al Bukhari)
(Diterjemahkan untuk blog http://ulamasunnah.wordpress.com dari Qutuf min Syamail Muhammadiyyah, karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
Naskah Arab:
رحمة الرسول صلى الله عليه وسلم بالحيوان :
1- وعن سهيل بن الحنظلية قال : مرّ رسول الله صلى الله عليه وسلم ، ببعير قد لحق ظهره ببطنه ، فقال : (اتقوا الله في هذه البهائم المعجمة فأركبوها صالحة ، وكلوها صالحة) . “المعجمة : التي لا تنطق” .
2- وعن عبدالله ، عن أبيه قال : كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في سفر ، فانطلق لحاجته ، فرأينا (حُمرة) معها فرخان ، فأخذنا فرخيها ، فجاءت الحمرة ، فجعلت تُعرش ، فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : من فجع هذه بولدها ؟ ردوا ولدها إليها ، ورأى قرية نمل قد أحرقناها ، فقـال : من أحرق هذه ؟ قلنا : نحن ، قال : لا ينبغي أن يُذب بالنار إلا رب النار.
(الحمرة : طائر يشبه العصفور) ، ( تُعرش : ترفرف) .
3- كان صلى الله عليه وسلم ، يُصغي للهرة الإناء ، فتشرب ثم يتوضأ ، بفضلها ، (يصغي ، يميل) .
4- وقال صلى الله عليه وسلم : ( إن الله كتب الإحسان على كل شئ ، فإذا قتلتم فأحسنوا القتلة ، وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبحة ، وليحد أحدكم شفرته ، وليرح ذبيحته) .
5- وعن ابن عباس رضي الله عنهما قال : مرّ رسول الله صلى الله عليه وسلم على رجل واضع رجله على صفحة شاة وهو يحد شفرته ، وهي تلحظ إليه ببصرها ، فقال : أتريد أن تميتها موتتين ؟ هلا حددت شفرتك قبل أن تضجعها ؟ (تلحظ : تنظر) .
6- وقال صلى الله عليه وسلم : ( عُذبت امرأة في هرة سجنتها حتى ماتت ، فدخلت فيها النار ، لا هي أطعمتها وسقتها إذ حبستها ، ولا هي تركتها تأكل خشاش الأرض) . ” خشاش الأرض : حشراتها ” .
Kamis, 05 April 2012
Asal Mula Alam Semesta - Keajaiban Ilmiah Al Qur'an
Asal Mula Alam Semesta - Keajaiban Ilmiah Al Qur'an

Gambar 10. Sebuah bintang terbentuk dari gumpalan gas dan asap (nebula), yang merupakan peninggalan dari 'asap' yang menjadi asal kejadian alam semesta. (The Space Atlas, Heather dan Henbest, hal. 50)

Gambar 11. Nebula Laguna adalah sebuah gumpalan gas dan asap yang berdiameter sekitar 60 tahun cahaya. Ia dipendarkan oleh radiasi ultraviolet dari bintang panas yang baru saja terbentuk di dalam gumpalan tersebut. (Horizons, Exploring the Universe, Seeds, gambar 9, dari Association of Universities for Research in Astronomy, Inc.)
Langganan:
Postingan (Atom)